Sunday 2 January 2011

SURVIVOR LOST NOTES 010

Kukepulkan asap rokok dari mulutku. Pandanganku terpaku pada rak-rak makanan. Tubuhku tergolek, bersandar pada rak makanan yang lain. Jemariku terus menekan tombol call di ponsel milikku. Walaupun aku tahu kalau tidak ada sinyal yang tertangkap. Mencari sebercik keajaiban tidak ada salahnya bukan? Itulah yang ada di benakku selama empat hari ini. Empat hari bersama beberapa orang yang tidak kukenal sebelumnya, empat hari bersembunyi dari kekacauan di luar sana, empat hari terselimuti pertanyaan, "Apa yang sebenarnya terjadi?".

Ini hari kedua kami tanpa listrik. Hawa panas dan rasa bosan mulai meneror. Apa asiknya harus memandangi rak-rak makanan sepanjang hari? Ditambah lagi kami harus ekstra hati-hati bila ingin berdiri tegak. Dua sisi ruangan ini terbuat dari kaca. Sangat mudah untuk melihat keluar, dan sebaliknya. Kami tidak ingin salah satu dari mereka yang di luar sana menyadari keberadaan kami di dalam. Kami yakin kaca-kaca itu sangat mudah untuk dihancurkan. Itulah mengapa kami sangat berhati-hati bila ingin beranjak dari tempat duduk kami. Tapi setidaknya keadaan kami jauh lebih baik daripada keadaan di luar sana. Kami sedikit beruntung bisa bersembunyi disini. Mini market ini mempunyai banyak stok makanan dan minuman. Bukan hanya snack-snack saja, tapi disini terdapat banyak roti yang jenisnya bermacam-macam. Selama ini kami belum menemukan kesulitan yang berarti. Kami merasa cukup aman untuk menetap disini sampai bantuan datang.

Lima orang, termasuk diriku. Tiga orang pria, dan dua orang wanita. Aku adalah seorang mahasiswa semester awal. Agak jauh di sampingku, tepat di belakang meja kasir ada Dion dan Rahma. Mereka adalah kasir mini market, Dion adalah orang yang menyuruhku masuk untuk berlindung disini sebelum kami memblokir satu-satunya pintu keluar dari sini. Di deretan rak lain ada Edwin dan Vero, mereka adalah sepasang kekasih. Ketika aku masuk untuk berlindung disini, mereka berdua sudah ada. Mobil mereka terparkir di depan mini market. Sepertinya mereka kesini untuk berbelanja sebelum kekacauan terjadi. Aku sering merasa seperti orang asing yang terbuang. Disaat Dion sibuk menenangkan Widi yang sering menangis, atau disaat Edwin dan Vero sedang pergi ke dalam dunia mereka. Aku yang tidak mengenal mereka dengan baik memilih untuk duduk sendiri. Kadang aku berpikir bagaimana bila bantuan tidak akan datang? Apakah kami harus tetap berdiam diri disini? Atau mencoba keluar dan mencari tempat perlindungan yang lebih baik, dengan resiko menjadi 'santapan siang' bagi mereka-mereka yang sedang berkeliaran di luar dengan liarnya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus muncul di benakku ketika Dion, Rahma, Edwin, dan Vero sedang sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Ini sudah hari keempat, dan sudah dua hari kami bertahan tanpa aliran listrik. Apa mungkin PLN juga sudah lumpuh? Kalau itu benar terjadi, bagaimana nasib kami selanjutnya? Aku sering berpikir untuk mengambil resiko dan mencoba mencari tempat perlindungan yang lebih aman, yang mempunyai stok makanan lebih banyak, yang terdapat lebih banyak orang di dalamnya. Lebih banyak orang, lebih mudah untuk bertahan dan saling mengamankan. Pada malam hari pertama aku mengusulkan kepada semuanya untuk keluar dari tempat ini menggunakan mobil milik Edwin. Tapi semua orang menolak hal itu, kecuali Vero. Vero sempat mencoba membujuk pacarnya agar mengamini usulku, tapi hal itu berujung pada bertengkarnya mereka berdua. Dan suara terbanyak memutuskan agar kami tetap berada disini sampai bantuan datang.

Dan disinilah kami.. bersembunyi dari ancaman orang-orang gila diluar sana. Kami sangat berharap agar bantuan segera datang. Aku, dan semua yang ada disini tidak ingin melihat lagi kejadian yang terjadi kemarin, kejadian yang membuat kelompok kami menjadi berjumlah lima orang......



23 Desember, 4:39 AM









Ditulis Oleh :
Ikra Cendana Lintang
3275021210910016

ikracendanalintang@hotmail.com

1 comment: