Tuesday 2 November 2010

SURVIVOR LOST NOTE 006

The survivor’s shelter point, Mall Ambassador Kuningan
1 Agustus 20X1, Pukul 16.40 WIB


Jika kamu masih sempat membaca tulisan ini, segeralah mencari tempat perlindungan…



Ketika semuanya berawal…


aku memandang keluar dari jendela bis yang kunaiki. Hujan lebat yang turun sejak bisku masuk ke perbatasan Jakarta membuat kaca jendela berkabut dan aku merasa seperti orang yang rabun jauh. Jakarta dan hujan. Kombinasi yang bagus. Apa lagi yang bisa kuharapkan dari kota yang alergi berat dengan hujan ini? aku sama sekali nggak membayangkan aku harus datang ke kota ini. Kalau saja bukan ibu yang menyuruhku…


“kamu ke Jakarta sana. Adikmu sepertinya mendapat kesulitan. Ibu sedang banyak urusan di Banjarmasin, jadi belum bisa menjenguknya. Kamu mau, kan, Sayang?”


Aku sama sekali nggak punya kekuatan buat menolak…


Dan masalah apa yang persisnya adikku timbulkan, aku nggak tau. Tapi aku nggak heran. Punya adik dengan temperamental seperti itu, orang tuaku udah terbiasa mendapatkan surat panggilan dari Guru BP SMA-nya, setidaknya sebulan sekali. Dan setahun yang lalu, dia memilih untuk kuliah di Jakarta. Pilihan yang aneh, jujur saja, karena sejak dia duduk di bangku SMA, dia selalu berujar kalau Jakarta adalah kota yang menjadi pilihan terakhirnya untuk tinggal di Indonesia.


Dan, pada akhirnya, adikku sepertinya memilih dari baris yang paling bawah, bukan dari atas…


Jakarta, kota dengan seribu masalah. aku nggak pernah menyadari kalau kota itu tidak hanya akan menjadi pilihan terakhir bagi adikku..


Tapi juga bagi semua orang…


Hujan mulai berhenti turun ketika bis gw melewati gerbang tol pondok Gede. Tapi keadaan di luar membuatku menyesal telah dengan mudahnya menuruti permintaan ibuku. Aku menghela napas. Aku betul-betul salah memilih hari untuk datang ke Jakarta.


Mudah-mudahan aku bisa sedikit tersenyum ketika aku sampai di terminal lebak bulus..


Oh ya, sekedar informasi, aku sebenarnya kelahiran Banjarmasin, yang kuliah di univeritas di bandung. Orang tuaku semuanya tinggal di Banjarmasin. Hanya aku dan adikku yang merantau untuk menempuh pendidikan. Aku di Bandung, adikku di Jakarta.


Oke, berhenti membicarakan diriku, karena sepertinya ada yang aneh dengan Jakarta hari ini…


Aku kembali memandang ke luar. Berusaha untuk melihat dengan fokus, aku memicingkan mata. Di luar, aku melihat orang-orang berlarian di pinggir jalan. Cara berlari yang aneh, karena mereka sepertinya sudah kehilangan kemampuan untuk berjalan lurus. Atau mungkin mereka sedang mabuk? Tidak mungkin… seumur hidup aku belum pernah mendengar ada orang yang mabuk berjama’ah berlarian bersama di pinggir jalan. Dan jumlahnya bukan hanya satu atau dua…


Tapi puluhan..


Hei, tunggu dulu, bukannya ini masih di jalan tol?


Lalu apa yang mereka lakukan luar sana?


Tampaknya bukan Cuma aku saja yang menyadari keanehan ini. Hampir semua penumpang di dalam bis menoleh ke samping kiri, menunjuk-nunjuk gerombolan orang-orang itu dengan penasaran. Beberapa, aku melihat, tampak ketakutan. Kejadian itu berlangsung selama beberapa saat, sampai kemudian mendadak seorang ibu yang menggendong anaknya menjerit keras sambil menunjuk keluar. Persisnya apa yang membuat ibu itu menjerit, aku nggak pernah mengetahuinya, karena mendadak bis mengerem dengan keras. Semua penumpang, termasuk diriku, terlempar ke depan. Bis itu oleng ke kanan. Kemudian terdengar suara benturan. Bis itu terguling ke samping, dan aku terbating bersama puluhan penumpang yang lainnya. Kaca jendela pecah dan beberapa penumpang ada yang terhempas keluar. Jeritan dan teriakan… suara benturan dan ledakan… bis terguling beberapa kali. di tengah semua itu, aku berusaha untuk tetap sadar, namun kepalaku terbentur sesuatu yang keras, dan semuanya berubah gelap…








Aku membuka mata sambil merintih pelan, dan langsung menjerit keras...


Di hadapanku, seorang wanita dengan mata terbuka memandang kosong ke arahku. Wajahnya dipenuhi darah segar. Mulutnya ternganga. Dari tampangnya, bisa dipastikan, ia telah tewas. Aku memandang sekeliling, dan pemandangan yang kulihat malah membuatku ingin muntah. Di tempat di mana kaki wanita itu seharusnya berada, tidak kulihat apa-apa kecuali potongan daging berlumuran darah dan, sesuatu seperti.. apa itu? Ususkah? Aku benar-benar muntah…


Namun itu belum seberapa…


Aku mencoba untuk bangkit. Di atasku bangku bis bersilangan dan saling berhimpit, sehingga membentuk layaknya atap yang menaungiku. Jadi itulah yang membentur kepalaku, dan itu jugalah yang sepertinya melindungiku dari benturan benda yang lainnya, sehingga aku bisa selamat dan sadar. Aku mendorong kursi itu hingga terlempar. Bis terkutuk ini, entah bagaimana, telah kembali ke posisinya yang normal, hanya saja isi di dalamnya tidak lagi senormal seharusnya. Atau.. harus kukatakan, jauh dari apa yang seharusnya terjadi.


Ketika aku bangkit, aku mendapat pemandangan paling mengerikan seumur hidupku. Tubuh-tubuh tergeletak berlumuran darah di depanku, beberapa dengan kondisi mengenaskan. Bahkan (aku kembali ingin muntah) kulihat potongan tangan dan kaki berserakan di depanku. Darah berceceran di semua bagian bis yang porak-poranda.


Apa yang terjadi? Aku kehilangan akal… ini seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan…


Ketika aku berusaha untuk melangkahi mayat seorang laki-laki yang terjepit badan bis dan kursi, bis itu bergoyang hebat, seperti ada sekelompok orang yang mendorongnya (atau membenturkan diri?) secara bersamaan. Mengira itu adalah warga sekitar yang berusaha menolong, aku bergegas, menuju ke arah pintu keluar. Namun belum sampai aku ke sana, seseorang telah lebih dulu naik ke dalam bis.


Tunggu dulu… orang?


Orang yang naik ke dalam bis itu, tampangnya tidak jauh beda dengan para mayat yang ada di depanku. Rusak dan berlumuran darah. Hanya satu perbedaannya, ia hidup, dan berjalan…


Orang itu melihat darah dan daging segar dari para mayat, kemudian langsung menjatuhkan dirinya dan menggigiti daging itu dengan kebuasan seperti singa yang belum makan selama seminggu. Tapi aku masih bisa tahan bila melihat singa, karena memang itulah sifat dasarnya, sementara yang kulihat di depanku?


Manusia memakan daging manusia.. dengan buas.


Kemudian datang lagi yang lain, dengan tampang tak kalah rusah dengan yang sebelumnya, dan langsung bergabung dengan temannya yang telah makan duluan. Pemandangan ini benar-benar membuatkku ngeri. Apa yang terjadi sebenarnya?


Aku mundur dengan perlahan. Tentu saja naluriku mengatakan kalau aku harus lari secepat mungkin. Tapi kakiku bergetar hebat hingga aku kesulitan berjalan. Manusia-manusia kanibal itu masih terus saja makan daging para mayat itu dengan rakus. Mereka tidak menyadari keberadaanku, setidaknya belum…


Aku berhasil turun dari bis tanpa mereka ketahui. Apa yang kulihat di luar betul-betul membuatku menyangka aku sudah gila. Aku berada di tengah jalan tol dalam kota Jakarta, namun sekarang jalan tol itu dipenuhi oleh rongsokan mobil-mobil yang saling bertabrakan tepat di depan gerbang tol. Mayat-mayat berserakan. Darah di mana-mana. Suara sirine dan ledakan saling bersahutan di kejauhan. Orang-orang berlarian. Dan mereka kabur dari…


Mayat berjalan…


Ya.. mayat-mayat itu memang berjalan, dan mereka mengejar orang-orang yang masih hidup. Aku melihat seorang polisi berlari ketakutan dikejar bapak-bapak yang wajahnya terkoyak. Ia menembak bapak-bapak itu tepat di dada, di tempat di mana orang biaa seharusnya sudah mati bila tertembak seperti itu. Tapi ia terus berjalan… oh tidak, berlari. Ia berlari mengejar polisi itu, dan di depan mataku, aku melihat polisi itu dikeroyok oleh mereka, pada manusia kanibal itu. Aku tak kuat lagi melihat ketika salah satu potongan tangan terbang ke atas kerumunan itu dan terjatuh di dekatnya.


“Pergi dari sini!”


Seseorang berteriak di dekat telingaku. Ia adalah laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Ia memegang pemukul satpam, dan tampaknya baru saja berkelahi dengan salah satu manusia kanibal itu, terlihat dari kemejanya yang berlumuran darah.


“apa yang kamu lakukan? Cepat lari!” teriaknya lagi.


Aku tak perlu diingatkan dua kali, karena tepat saat itu seseorang menghampiri kami dengan tampang beringas. Aku mengikuti laki-laki tadi, berlari zig-zag diantara bangkai mobil yang tercecer sepanjang jalan tol. Di belakang kami, satu persatu mayat berjalan itu mengejar kami.


Aku berteriak, meminta dia menungguku. Usaha yang bodoh. Siapa juga yang mau menunggu seseorang dengan resiko mati? Dengan susah payah – tenagaku belum pulih gara-gara kecelakaan bis tadi – aku berlari.


Aku berusaha melompati pagar pembatas jalan tol. Pagar itu hamper rubuh tertabrak trus gandeng, sehingga aku bisa melompatinya dengan mudah. Untung saja begitu, karena mayat berjalan itu masih mengejarku dan, mereka semua langsung menabrak pagar, saling berhimpitan satu sama lain. Tampaknya mereka masih belum punya cukup otak untuk menganalisa bahwa pagar itu bisa dilompati.


Aku tak tahu di mana orang yang meneriakiku tadi. Tidak penting. Nyawaku jauh lebih berharga saat ini.


Aku langsung berlari ke arah toko baju yang tampaknya tutup. Kupaksa untuk membuka pintunya, dan betapa beruntungnya aku, pintu itu bisa terbuka. Aku bisa berlindung sementara di sini, asalkan mayat berjalan itu tidak menyadari aku ada di dalamnya.


Di dalam sepi. Aku berusaha untuk menarik napas, dan mengaturnya. Jakarta berubah…. Menjadi kota neraka…


Dan di dalam kekalutan pikiranku, hanya ada satu yang kupikirkan…


Adikku…


Di mana dia sekarang?


Apa aku masih bisa hidup cukup lama untuk bertemu dengannya?


Ataukah…


Apa ia masih bisa hidup cukup lama untuk menungguku menjemputnya?






Hendy Firmansyah, Mahasiswa 20 tahun.



-original story by-
Penulis : Khalid Saifuddin
No. KTP : 3603122908900005
Tanggal : 27 Oktober 2010
Email : Khalid.saifuddin@ymail.com

5 comments: